Diriwayatkan bahwasanya ada sekelompok pasukan kaum muslimin yang terkepung di antara musuh dan sebuah sungai. Lalu, sang panglima pasukan memerintahkan kepada pasukan kaum muslimin untuk terjun menyeberangi sungai itu. Mereka pun menyambut baik perintah tersebut dan langsung terjun menyeberangi sungai itu, sementara pasukan musuh hanya menyaksikan mereka dari kejauhan. Di tengah-tengah sungai sebuah tempat air milik salah seorang pasukan terlepas dari pegangannya. Orang itu lalu berteriak : “tempat airku, tempat airku!” Lalu, orang yang ada di sebelah kanannya pun berteriak : “tempat airku, tempat airku!” Hingga akhirnya semua anggota pasukan itu meneriakkan kata yang sama, “tempat airku, tempat airku!” Setelah itu mereka semua menyelam ke dalam sungai untuk mencari tempat air saudara mereka. Apa yang mereka lakukan ini disaksikan oleh para musuh, sehingga Allah membuat mereka gentar (karena rasa persaudaraan pasukan kaum muslimin yang sangat kuat). Pasukan musuh berkata : “jika mereka rela melakukan hal seperti itu hanya karena sebuah tempat air milik salah seorang dari mereka yang terjatuh, maka apalagi jika kita membunuh salah seorang dari mereka.” Itulah yang menyebabkan pasukan kaum muslimin memperoleh kemenangan.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa lemahnya rasa persaudaraan (ukhuwah) adalah faktor utama yang menghambat kaum muslimin untuk meraih kemenangan. Kita mungkin memang menangis dan turut berduka atas apa yang menimpa saudara-saudara kita di negeri Palestina, Irak. dan Sudan. Kita juga tidak memungkiri ketulusan perasaan yang kita rasakan pada saat itu. Akan tetapi, apakah perasaan yang kita rasakan itu sebanding dengan perasaan kaum muslimin saat mendengar permohonan pertolongan seorang wanita yang merupakan saudara seiman mereka yang berada di perbatasan negeri Romawi? Saat itu seluruh kaum muslimin berlomba-lomba untuk bersegera memberikan pertolongan kepada wanita itu dan tidak seorang pun dari mereka menunda-nunda memberi pertolongan, (dan peristiwa inilah yang mengawali runtuhnya Imperium Romawi).
Apakah perasaan yang kita rasakan seimbang dengan perasaan para tabi’in yang rela lebih mendahulukan sikap membantu menyelesaikan utang saudaranya seiman sebelum dia melunasi utang dirinya sendiri? Apakah perasaan kita sama dengan seseorang yang ditinggal wafat oleh saudaranya, kemudian dia memperlakukan anak-anak saudaranya itu dengan sangat baik hingga membuat anak-anak itu hanya merasa kehilangan wajah (fisik) ayahnya saja, karena figur ayahnya telah tergantikan? Selanjutnya, apakah rasa cinta kita kepada saudara kita seiman sama dengan kecintaan seorang hamba kepada saudaranya yang setiap malam dia selalu mendoakan saudaranya itu lebih dari tiga ratus kali?
Mari kita sama-sama berusaha menjadi seperti mereka yang turut merasakan betapa orang yang kehilangan tempat airnya sangat membutuhkan tempat air tersebut. Mereka sama sekali tidak menganggap bodoh permintaan saudaranya itu. Bahkan mereka semua bersatu-padu untuk mewujudkan permintaan saudara mereka, meski hanya demi barang yang mungkin sepele. Namun, itulah yang menyebabkan mereka memperoleh kemenangan. Oleh karena itu, imam Hasan al Bana berkata : “kekuatan yang paling utama adalah adanya persatuan, sedangkan persatuan tidak akan terwujud tanpa adanya perasaan cinta.”
Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa lemahnya rasa persaudaraan (ukhuwah) adalah faktor utama yang menghambat kaum muslimin untuk meraih kemenangan. Kita mungkin memang menangis dan turut berduka atas apa yang menimpa saudara-saudara kita di negeri Palestina, Irak. dan Sudan. Kita juga tidak memungkiri ketulusan perasaan yang kita rasakan pada saat itu. Akan tetapi, apakah perasaan yang kita rasakan itu sebanding dengan perasaan kaum muslimin saat mendengar permohonan pertolongan seorang wanita yang merupakan saudara seiman mereka yang berada di perbatasan negeri Romawi? Saat itu seluruh kaum muslimin berlomba-lomba untuk bersegera memberikan pertolongan kepada wanita itu dan tidak seorang pun dari mereka menunda-nunda memberi pertolongan, (dan peristiwa inilah yang mengawali runtuhnya Imperium Romawi).
Apakah perasaan yang kita rasakan seimbang dengan perasaan para tabi’in yang rela lebih mendahulukan sikap membantu menyelesaikan utang saudaranya seiman sebelum dia melunasi utang dirinya sendiri? Apakah perasaan kita sama dengan seseorang yang ditinggal wafat oleh saudaranya, kemudian dia memperlakukan anak-anak saudaranya itu dengan sangat baik hingga membuat anak-anak itu hanya merasa kehilangan wajah (fisik) ayahnya saja, karena figur ayahnya telah tergantikan? Selanjutnya, apakah rasa cinta kita kepada saudara kita seiman sama dengan kecintaan seorang hamba kepada saudaranya yang setiap malam dia selalu mendoakan saudaranya itu lebih dari tiga ratus kali?
Mari kita sama-sama berusaha menjadi seperti mereka yang turut merasakan betapa orang yang kehilangan tempat airnya sangat membutuhkan tempat air tersebut. Mereka sama sekali tidak menganggap bodoh permintaan saudaranya itu. Bahkan mereka semua bersatu-padu untuk mewujudkan permintaan saudara mereka, meski hanya demi barang yang mungkin sepele. Namun, itulah yang menyebabkan mereka memperoleh kemenangan. Oleh karena itu, imam Hasan al Bana berkata : “kekuatan yang paling utama adalah adanya persatuan, sedangkan persatuan tidak akan terwujud tanpa adanya perasaan cinta.”
0 komentar:
Posting Komentar