Dia adalah khalifah keempat dari Khulafaur Rasyidin. Ayahnya Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hisyam bin Abdi Manaf. Ibunya Fathimah binti Asad binti Hasyim bin Abdi Manaf. Jadi, baik dari pihak ayah maupun ibunya, Ali adalah keturunan Bani Hasyim.
Untuk meringankan beban Abu Thalib yang kala itu mempunyai anak yang lumayan banyak, Rasulullah Saw mengasuh Ali. Selanjutnya, Ali tinggal bersama di rumah Nabi dan mendapatkan pengajaran langsung dari beliau.
Ali dilahirkan dalam Ka’bah, 23 tahun sebelum Hijrah, dan mempunyai nama kecil Haidarah. Ia baru menginjak usia sepuluh tahun ketika Rasulullah menerima wahyu yang pertama. Sejak kecil Ali telah menunjukkan pemikirannya yang kritis dan brilian.
Kesederhanaan, kerendah-hatian, ketenangan dan kecerdasan dari kehidupan Ali yang bersumber dari Al-Qur’an dan wawasan yang luas, membuatnya menempati posisi istimewa di antara para sahabat Rasulullah Saw lainnya. Kedekatan Ali dengan keluarga Rasulullah semakin erat ketika ia menikah dengan putri bungsu beliau, Fathimah.
Ketika Rasulullah Saw masih hidup, Ali bin Abi Thalib telah memberikan ‘saham’ terbesar demi tersebarnya Islam. Di antara sumbangan terbesar itu adalah kesediaannya menggantikan Rasulullah Saw tidur di kamarnya untuk mengelabui para pengepung yang ingin membunuh Rasulullah. Dengan resiko apapun, termasuk kemungkinan dibunuh, Ali bersedia menanggung akibatnya. Dengan cara itu, Rasulullah dan Abu Bakar aman bersembunyi di Gua Tsur selama beberapa hari, dan selanjutnya meneruskan hijrah ke Madinah.
Itu bukan satu-satunya bukti keberanian Ali. Ketika Perang Badar akan meletus, kaum Quraisy mengeluarkan tiga jagoan perangnya; Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah dan Walid bin Utbah. Dengan segala keberaniannya, Ali bin Abi Thalib, Ubaidah bin Harits dan Hamzah bin Abdul Muthalib, maju ke medan laga untuk menerima tantangan perang tanding dari pihak Quraisy. Dan tanpa kesulitan yang berarti ia berhasil membunuh Walid bin Utbah, musuhnya.
Hamzah juga berhasil membunuh Syaibah. Sedangkan Ubaidah terputus kakinya disambar senjata Utbah. Ali dan Hamzah segera melompat menyerang Utbah, sehingga ia tewas di tangan dua jagoan Islam itu. Adapun Ubaidah hanya mampu bertahan sekitar empat atau lima hari setelah Perang Badar. Ia pun syahid di daerah Shafra’.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman, ia terus menyertai tiga khalifah itu meneruskan dakwah Rasulullah. Ketika Utsman bin Affan syahid di tangan para pembunuhnya, kursi kekhalifahan kosong selama dua atau tiga hari. Banyak orang, khususnya mereka yang berada di Madinah kala itu, mendesak Ali untuk menggantikan posisi Utsman. Ketika para sahabat Rasulullah Saw meminta, dengan sangat terpaksa Ali menerima jabatan sebagai khalifah yang keempat.
Sepeninggal Utsman, Ali bin Abi Thalib menanggung beban yang cukup berat. Di satu pihak, ia harus membersihkan para ‘penjilat’ yang selama ini memengaruhi Utsman. Di satu sisi, ia juga harus mengusut tuntas kasus pembunuhan khalifah Utsman.
Khalifah Ali benar-benar dihadapkan pada permasalahan besar. Yang ia hadapi saat itu bukan musuh kuat yang bisa dikalahkan dengan tajamnya pedang. Bukan pula pasukan besar yang bisa ditaklukkan dengan strategi jitu. Tetapi benar-benar permasalahan pelik. Di tengah permasalahan itu, akhirnya Ali memutuskan untuk memulai penataan pemerintahan baru yang bermasa depan cerah. Namun usahanya membuat penyegaran di pemerintahan dengan memberhentikan seluruh gubernur yang pernah diangkat Utsman, malah memicu konflik baru.
Menghadapi kebijakan itu, ada beberapa sahabat yang dengan legowo mengundurkan diri dari pentas politik seperti Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar. Namun ada juga di antara mereka yang tetap bersikukuh meminta Ali untuk mendahulukan penuntasan kasus pembunuhan Utsman. Suatu keharusan yang saat itu sangat sulit dilakukan oleh Ali lantaran di antara para pembunuh itu justru masih bercokol di kota Madinah.
Untuk meringankan beban Abu Thalib yang kala itu mempunyai anak yang lumayan banyak, Rasulullah Saw mengasuh Ali. Selanjutnya, Ali tinggal bersama di rumah Nabi dan mendapatkan pengajaran langsung dari beliau.
Ali dilahirkan dalam Ka’bah, 23 tahun sebelum Hijrah, dan mempunyai nama kecil Haidarah. Ia baru menginjak usia sepuluh tahun ketika Rasulullah menerima wahyu yang pertama. Sejak kecil Ali telah menunjukkan pemikirannya yang kritis dan brilian.
Kesederhanaan, kerendah-hatian, ketenangan dan kecerdasan dari kehidupan Ali yang bersumber dari Al-Qur’an dan wawasan yang luas, membuatnya menempati posisi istimewa di antara para sahabat Rasulullah Saw lainnya. Kedekatan Ali dengan keluarga Rasulullah semakin erat ketika ia menikah dengan putri bungsu beliau, Fathimah.
Ketika Rasulullah Saw masih hidup, Ali bin Abi Thalib telah memberikan ‘saham’ terbesar demi tersebarnya Islam. Di antara sumbangan terbesar itu adalah kesediaannya menggantikan Rasulullah Saw tidur di kamarnya untuk mengelabui para pengepung yang ingin membunuh Rasulullah. Dengan resiko apapun, termasuk kemungkinan dibunuh, Ali bersedia menanggung akibatnya. Dengan cara itu, Rasulullah dan Abu Bakar aman bersembunyi di Gua Tsur selama beberapa hari, dan selanjutnya meneruskan hijrah ke Madinah.
Itu bukan satu-satunya bukti keberanian Ali. Ketika Perang Badar akan meletus, kaum Quraisy mengeluarkan tiga jagoan perangnya; Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah dan Walid bin Utbah. Dengan segala keberaniannya, Ali bin Abi Thalib, Ubaidah bin Harits dan Hamzah bin Abdul Muthalib, maju ke medan laga untuk menerima tantangan perang tanding dari pihak Quraisy. Dan tanpa kesulitan yang berarti ia berhasil membunuh Walid bin Utbah, musuhnya.
Hamzah juga berhasil membunuh Syaibah. Sedangkan Ubaidah terputus kakinya disambar senjata Utbah. Ali dan Hamzah segera melompat menyerang Utbah, sehingga ia tewas di tangan dua jagoan Islam itu. Adapun Ubaidah hanya mampu bertahan sekitar empat atau lima hari setelah Perang Badar. Ia pun syahid di daerah Shafra’.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman, ia terus menyertai tiga khalifah itu meneruskan dakwah Rasulullah. Ketika Utsman bin Affan syahid di tangan para pembunuhnya, kursi kekhalifahan kosong selama dua atau tiga hari. Banyak orang, khususnya mereka yang berada di Madinah kala itu, mendesak Ali untuk menggantikan posisi Utsman. Ketika para sahabat Rasulullah Saw meminta, dengan sangat terpaksa Ali menerima jabatan sebagai khalifah yang keempat.
Sepeninggal Utsman, Ali bin Abi Thalib menanggung beban yang cukup berat. Di satu pihak, ia harus membersihkan para ‘penjilat’ yang selama ini memengaruhi Utsman. Di satu sisi, ia juga harus mengusut tuntas kasus pembunuhan khalifah Utsman.
Khalifah Ali benar-benar dihadapkan pada permasalahan besar. Yang ia hadapi saat itu bukan musuh kuat yang bisa dikalahkan dengan tajamnya pedang. Bukan pula pasukan besar yang bisa ditaklukkan dengan strategi jitu. Tetapi benar-benar permasalahan pelik. Di tengah permasalahan itu, akhirnya Ali memutuskan untuk memulai penataan pemerintahan baru yang bermasa depan cerah. Namun usahanya membuat penyegaran di pemerintahan dengan memberhentikan seluruh gubernur yang pernah diangkat Utsman, malah memicu konflik baru.
Menghadapi kebijakan itu, ada beberapa sahabat yang dengan legowo mengundurkan diri dari pentas politik seperti Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar. Namun ada juga di antara mereka yang tetap bersikukuh meminta Ali untuk mendahulukan penuntasan kasus pembunuhan Utsman. Suatu keharusan yang saat itu sangat sulit dilakukan oleh Ali lantaran di antara para pembunuh itu justru masih bercokol di kota Madinah.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni
0 komentar:
Posting Komentar