Perubahan arah kiblat untuk Indonesia


Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) Badan Komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), Bustami Usman mengatakan, pergeseran arah kiblat shalat diharapkan tidak membingungkan umat Islam. Menurutnya, arah kiblat masjid sekarang ini tidak perlu dibongkar dan untuk sementara mengikuti arah kiblat sebelumnya.

Berdasarkan hasil penelitian dari ilmu Falak dan astronomi, arah yang ditentukan oleh MUI tersebut justru menghadap ke Afrika, Somalia Selatan, Kenya dan Tanzania sebab arah Indonesia tidak persis di timur Makkah.

Namun, fatwa tersebut akhirnya direvisi dengan fatwa nomor 5 Tahun 2010 bahwa kiblat yang benar adalah menghadap ke barat laut dengan kemiringan bervariasi, sesuai letak geografis wilayah tempat masjid berada. Fatwa tersebut hanya menyempurnakan fatwa yang dikeluarkan MUI sebelumnya yang menyatakan arah kiblat ke barat yang tidak dihapus. Arah kiblat yang ditetapkan berdasarkan fatwa tersebut dengan posisi kemiringan sekitar 25 derajat sehingga tepat menghadap ke Kakbah.

Terkait peristiwa ini, ada beberapa yang bisa digarisbawahi, dan mungkin dapat menjadi ulasan khusus.

1. Menghadap Kiblat

Memperbaiki arah kiblat secara ritual saat melaksanakan shalat. Sesuai dengan fatwa terakhir MUI, umat Islam Indonesia harus menjalankan shalat dengan mengarah ke barat laut.

Secara fiqih, sebenarnya perubahan dalam fatwa MUI tidak terlalu dibutuhkan. Sebab, kewajiban umat Islam hanyalah menunaikan shalat dengan menghadap arah (syathrah) kiblat, bukan titik (‘ain) kiblat secara mutlak dan kurat (kandungan QS. Al Baqarah : 144).

Karena itu, pergeseran posisi tersebut tidak mewajibkan umat Islam Indonesia mengubah arah kiblat saat menunaikan shalat. Kecuali, posisi kiblat bergeser secara radikal sehingga tak lagi mengarah ke barat (bagi umat Islam Indonesia), melainkan ke selatan, utara, bahkan timur.

Dengan demikian, dapat ditegaskan, melakukan shalat dengan mengarah ke barat seperti kebiasaan selama ini (atau agak serong sedikit) sama sahnya dengan mengarah ke barat laut (sebagaimana fatwa terakhir MUI). Hal yang jauh lebih penting untuk ditegaskan, fatwa MUI itu tidak boleh menjadi pemicu kontroversi di kalangan umat Islam Indonesia. Fatwa tersebut juga tidak boleh membuat umat Islam Indonesia saling menyalahkan dan memicu konflik.

2. Makna Spiritual

Umat Islam memang diwajibkan melakukan shalat dengan menghadap kiblat. Tapi, Islam tidak menyuruh umatnya menyembah Kakbah yang terbuat dari batu. Sebaliknya, umat Islam diwajibkan menyembah Allah yang tidak terikat dengan tempat, ruang, dan waktu, melainkan mengetahui semua tempat, ruang, dan waktu.

Secara spiritual, ajaran menghadap kiblat tak lain bertujuan membimbing umat agar senantiasa menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh jiwa-raga serta akal-pikiran sekaligus menyadari pengawasan Allah.

Karena itu, bila benar-benar menghadap kiblat, seorang muslim tidak akan pernah merasa punya ruang atau waktu kosong tanpa pengawasan Allah. Maka, seorang muslim yang benar-benar menghadap kiblat tidak akan pernah merasa punya ruang atau waktu kosong untuk melakukan keburukan, termasuk korupsi. Sebab, sesungguhnya Allah senantiasa hadir dan mengetahui semua ruang, tempat, dan waktu.

Sebuah riwayat menyebutkan, pada zaman dulu ada seorang tokoh besar yang menasihati anaknya agar tidak melakukan keburukan, kecuali di tempat yang tak diketahui Allah. Akhirnya, sang anak tak bisa melakukan keburukan apa pun karena tidak ada tempat, ruang, dan waktu yang terlepas dari pengawasan Allah SWT.

3. Makna Sosial

Setiap hari, setidaknya lima kali umat Islam menghadapkan diri ke kiblat melalui salat wajib lima waktu. Bila jumlah total umat Islam 1 miliar, ada 5 miliar kali wajah yang menghadap ke kiblat setiap hari. Jumlah tersebut jauh lebih banyak bila ditambah dengan salat-salat sunah.

Cukup disayangkan menghadap kiblat selama ini cenderung dilakukan untuk menggugurkan kewajiban ritual semata yang hampir tidak membekas secara sosial. Padahal, ajaran itu menyimpan potensi yang luar biasa secara sosial. Perubahan menghadap kiblat secara sosial pun menjadi kebutuhan mutlak ke depan; dari hanya menggugurkan kewajiban ritual menjadi menyuburkan makna sosial.

Salah satu makna sosial yang bisa ditumbuhkan melalui ajaran menghadap kiblat adalah upaya membangun kebersamaan dan kekompakan. Sejauh ini, kebersamaan dan kekompakan menjadi kelemahan paling mendasar bagi umat Islam. Mereka senantiasa terpecah belah karena perbedaan-perbedaan yang ada. Padahal, semua umat Islam tetap menghadap ke kiblat yang sama, apa pun aliran fiqih dan pemikiran mereka.


Telah direvisi dari berbagai sumber .

0 komentar:

Posting Komentar